Bulan Zulhijjah yang setiap tahun mengunjungi kita, mengandung
serangkaian ibadah, mulai dari pelaksanaan ibadah haji hingga
penyemblihan hewan qurban. Sebagai hari besar disebut juga hari
tasyrik, suatu hari yang tidak kalah nilainya dengan hari Idul Fitri
dan hari Jumat.
Sejak dahulu telah ditradisikan bahwa Idul Adha disebut juga Idul
Qurban. Terlebih bagi orang yang melaksanakan Ibadah haji, yang pada
hari itu akan mengakhiri ibadahnya dan mulai diberi keringanan dalam
status tahallul awwal. Kegembiraan ini sangat dirasakan sekali pada
tanggal 10 Zulhijjah yang disertai dengan melakukan pelontaran Jumrah
Aqabah.
Secara harfiah, Idul Qurban berarti hari besar melakukan qurban dengan
menyemblih hewan untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Keutamaan
(fadhilah) penyemblihan ini sangat nampak sebagai salah satu wujud
pengorbanan seseorang
Tujuan sosialnya sangat jelas terlihat. Pada bulan Zulhijjah diharapkan
umat Islam dapat merasakannya secara khidmat dan turut menyantuni
sebagian hamba Allah yang selalu hidup dalam kekurangan dapat
memeriahkan hari raya Idul Adha, karena keterbatasan penghasilan yang
tergolong fuqara’ dan masakin.
Betapa banyak saudara-saudara kita yang masih mengadahkan tangan
dijalanan. Itu adalah tanda tidak adanya daya untuk memenuhi kehidupan
sehari-harinya. Sehingga harus menutup rasa malu dengan tangisan
pedihnya dan pilu di terik matahari mencari nafkah seadanya.
Nah, lapisan fuqara’ dan masakin ini bukan tidak menjadi kepedulian,
tetapi merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang mampu untuk
mengangkat harkat dan martabat mereka secara layak, hanya dalam suatu
perayaan yang sederhana sekali, seperti syi’ar Idul Fitri pada bulan
Syawal dengan adanya zakat fitrah yang baru saja kita lewati. Syi’ar
idul Adha pada bulan Zulhijjah adalah dengan adanya penyembelihan hewan
qurban yang akan kita sambut bersama.
Memahami konteks dan substansi makna Idul Adha tersebut, maka adalah
suatu kekeliruan jika ada yang memaknakan sembelihan hewan tersebut
sama dengan tradisi penyembelihan hewan qurban untuk menyenangkan sang
pencipta yang mereka puja dan darah hewan itu sebagai penebusannya.
Dalam tulisan antropologi kehidupan bangsa-bangsa kuno, diketahui
adanya kepercayaan, bahwa darah hewan itu dianggap magis, karena darah
inilah yang diinginkan sang pencipta yang mereka puja. Paham paganisme
misalnya, sangat kental dengan kepercayaan seperti itu, sehingga setiap
upacara ritual selalu disertai dengan penyuguhan darah dan daging untuk
dipersembahkan kepada sang pencipta yang mereka puja.
Kepercayaan orang Mesir Kuno, misalnya terlihat dalam tradisi mereka
setiap tahun, melakukan upacara ritual dengan mengorbankan seorang
perempuan muda untuk Sungai Nil, karena sungai ini dianggap sebagai
dewa penolong kaum petani yang disebut al-fallah. Tradisi itu demikian
kukuh, sampai Islam berkembang di sana dan sejak itu pengorbanan untuk
sungai Nil dari darah dan daging manusia hidup ditiadakan.
Inilah salah satu contoh konkrit betapa Islam memandang bahwa
penyembelihan hewan qurban itu bukan untuk sajian ritualistik,
melainkan semata-mata dalam ibadah sosial, karena Allah Yang Maha
Sempurna tidak butuh darah dan tidak butuh daging seperti pandangan
umat terdahulu.
Ibadah sosial “qurban” dalam Islam lebih dipertegas lagi dalam
al-Qur’an. Allah berfirman yang artinya: ”Daging-daging dan darah unta
yang disembelih untuk qurban itu, sama sekali bukan untuk mencapai
(keinginan) Allah tetapi dengan ketaqwaan kamu itulah yang akan
mencapai (keridhaan) Allah. Demikianlah Allah memudahkan hewan
sembelihan itu, supaya kamu mengagungkan Allah berupa hidayah-Nya
kepadamu” (QS. Al-Hajj/22: 37).
Dari ayat tersebut mudah dipahami bahwa hwean qurban itu bukanlah yang
disakralkan untuk menjadi persembahan, seperti kepercayaan umat atau
bangsa-bangsa terdahulu, tetapi
sebagai sarana atau bukti perwujudan taqwa seseorang, dengan
menyisisihkan sebagian penghasilannya untuk menjadi makanan orang-orang
yang sangat membutuhkannya.
Bila direnungkan, paling tidak ada tiga makna yang dapat kita petik dalam melaksanakan ibadah qurban, yakni
1. Memperingati peristiwa ketaatan Nabi Ibarahim Alaihissalam yang
sangup menyahut perintah Allah Ta'ala untuk mengorbankan anaknya Nabi
Ismail Alaihissalam.
2. Melahirkan tanda bersyukur dan sikap taqwa kepada Allah terhadap nikmat-nikmatnya yan melimpah-ruah.
3. Menanamkan perasaan kasih-sayang antara si kaya dengan si miskin.
Wujud taqwa seperti itu (menyembelih hewan qurban) adalah juga salah
satu upaya untuk “ber-kerabat” dan “taqarrub” kepada Allah. Dalam
gramatika bahasa Arab, ungkapan kata qurban---qurbah---taqarrub berasal
dari satu akar kata “qaruba”. Arti harfiahnya dekat kepada Allah. Orang
yang dekat kepada Allah adalah orang-orang yang shaleh dengan
ketaqwaannya yang memadai. Tatkala tingkat kedekatan ini mencapai
tingkat optimal, maka akan naik tingkatannya kepada suatu atribut yang
disebut “al-muqarribin” Barangkali orangnya sangat terbatas, karena
akan melalui jenjang ketaqwaan itu sedemikian rupa dengan
latihan-latihan penempatan diri sebagai orang yang berakhlakul karimah
(berakhlak mulia).
Bukanlah pelaksanaan ibadah haji mengajarkan kita untuk menghapuskan
segala perbedaan, sebagai jurang pemisah antara sesama kita kaum
muslimin, baik antara si miskin dengan si kaya, si pejabat dengan
masyarakat biasa, sehingga timbullah keharmonisan dan keselarasan di
antara kita karena adanya kesadaran bahwa sesama makhluk Allah
kedudukan kita adalah sama.
Salah satu bukti jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan
nilai-nilai kemanusiaan serta akhlakul karimah, menurut Prof DR. M.
Quraish Shihab dalam bukunya membumikan al-Quran, disebutkan dalam isi
khutbah Nabi Muhammad Saw pada Haji Wada’ yang intinya menekankan: a.
Persamaan, b. Keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang
lain, c. Larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum
lemah baik dibidang ekonomi maupun bidang-bidang lain. Kadang-kadang
dalam menegakkan akhlak al-karimah inilah banyak yang tidak kuat
sehingga tingkat al-muqarrabin-nya sulit untuk dicapai.
Berdasarkan hal itu, perluasan makna “qurban, qurbah dan taqarrub”
hingga muqarraibin, menyatu dengan pelaksanaan akhlak al-karimah dan
akhlak al-karimah ini pun dipertajam lagi lebih ha,us, yang membuahkan
hukum estetika sosial. Pengorbanan yang harus ditempuh untuk
mewujudkannya termasuk perluasan makna qurban pula.
Mudah-mudahan dengan Idul Adha yang kita rayakan setiap bulan
Zulhijjah, mengundang kita semua kaum muslimin untuk menegakkan
estetika sosial melebihi etika sosial. Alangkah indahnya seruan Islam
ini untuk dapat menyejukkan dan menenteramkan kita semua. Mudah-mudahan
Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar